Aku seorang pelajar SMP. Namaku adya azahra yang biasa dipanggil dya.
Aku anak tunggal yang hidup bersama ayah dan ibu, mereka sangat
menyayangiku. Setiap hari kami selalu meluangkan waktu untuk bersama.
Ketika aku mulai mengenal pergaulan dan mulai menginginkan sesuatu yang harus aku dapatkan, aku sering merasa kesal dengan ibuku tanpa sebab, aku selalu membantah ketika ibu menasehatiku, aku selalu marah-marah dengannya, apalagi jika aku minta sesuatu kepada ibu tapi ibu menundanya, aku sangat marah sampai-sampai aku mengobrak abrik barang-barang di sekitarku di depan ibu.
Tapi ibu tidak memarahiku dia hanya berkata “sabar nak, besok pasti ibu kasih” sambil merapikan.
Aku semakin jengkel kepada ibu. Lalu ayahku datang “dya kenapa kamu nak?” Tanya ayah kepadaku. “Hehe tidak apa-apa yah” sambil masuk kamar. Entah kenapa dengan ayahku aku merasa takut beda dengan ibuku.
Saat aku bangun dari tempat tidur aku langsung mandi untuk siap-siap ke sekolah. Sebelumnya ku lihat meja makan yang sudah ada makanan yang dimasak ibuku untuk sarapan pagi bersama ayah. Ibuku jarang ikut sarapan dengan kami, ibu hanya menyiapkan sarapan, “nanti ingin ibu masakin apa?” Hampir setiap pagi setelah sarapan ibu bertanya seperti itu kepadaku. “Terserah yang penting enak” (meringis). Kemudian ibu bergegas ke pasar untuk membeli bahan untuk makan siang dan malam nanti.
Jarang kutemui ibuku saat aku berangkat ke sekolah. Tapi ibu selalu berpesan kepadaku dan ayah sebelum aku berangkat ke sekolah dan ayah berangkat kerja supaya aku dan ayah hati-hati.
Aku hanya berpamitan dengan ayah yang juga mau berangkat bekerja.
Sepulang sekolah “assalamualaikum, assalamualaikum” aku masuk rumah, melihat ibuku yang tertidur di depan tv setelah memasak untukku dan menunggu pulangku hingga ketiduran. Ku lihat wajah ibuku yang berkeringat mungkin karena kelelahan setiap hari melakukan pekerjaan rumah sendiri.
“Oh, dya sudah pulang?” ibu tiba-tiba bangun. Aku kaget “iyaa bu” (berjalan ke kamar).
Ibu menyuruhku agar aku segera makan. Tetepi aku tertidur hingga akhirnya aku lupa makan siang. Saat ibuku membangunkanku aku malah marah-marah kepadanya. Malam harinya aku baru makan bersama ayah dan juga ibu. Aku melihat lauk makanan ibu yang dipakai hanya sedikit, tapi laukku sangat banyak padahal aku tak pernah membantu ibu memasak. Disuruh menyapu saja aku menolaknya.
Pada hari minggu yang biasa dilakukan oleh sebagian orang selama hari libur itu membersihkan rumahnya. Saat itu aku tertidur pulas sampai aku bangun siang, aku tak melakukan apapun, ketika aku keluar dari kamarku aku melihat ibu sedang membersihkan kaca dan atap rumah, lalu menyapu, mengepel lantai. “Dya, bantu ibu cepat sini jangan tidur terus” kata ibu. Aku menolak perintah ibu lalu aku berlari ke rumah nenekku yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari rumah.
Saat aku pulang aku melihat ayah dan ibuku berdua sedang bercanda di depan tv, aku tidak ingin mengganggunya. Memang aku sebel dengan ibu padahal sebenarnya ibu tidak salah, namun aku juga bahagia melihat ibu dengan ayah bahagia berdua. Aku berharap aku akan selalu besama mereka selamanya.
Tapi ternyata aku salah kebahagiaanku kini mulai berkurang saat ayah berubah menjadi orang yang tak perduli pada keluarganya. Entah kenapa ayah seperti itu, biasanya ayah tak pernah kasar denganku dan ibuku tapi sekarang selalu marah-marah dengan raut wajah yang sensitif. Ayah yang dulu baik kini sering memarahi ibuku. “Yah belikan handpone baru ya” aku memohon ke ayah, “hp sudah 2 masih kurang, kamu pikir cari uang gampang? minta ibumu sana” sambil emosi dan langsung pergi.
Aku tak kuasa menahan ucapan ayah padaku sehingga aku pun menangis. “Insya allah ibu akan belikan” ibu menghiburku. Ayah yang sekarang sering pulang malam dia juga tidak pernah makan masakan ibu, padahal ibu susah payah masak sendiri.
Ternyata handpone yang aku minta ke ayah, ibu belikan untuku padahal uang yang dipakai adalah uang pinjaman. Ibuku rela melakukannya hanya demi aku “makasih ibu” sambil tersenyum. Setelah ibu pergi aku berfikir sejenak, “betapa tulusnya ibu denganku, tapi aku tidak pernah membantunya”.
Tanpa ku sadari tiba-tiba ayah ingin menggugat cerai ibuku. Suatu hal yang tidak pernah ada dalam fikiranku itu terjadi dalam keluargaku yang dulunya tentram, kini mulai muncul masalah, setiap kali aku melihat ibu dan ayah bertengkar, ayah yang bembentak-bentak ibuku hingga ibuku tak kuasa menahan airmatanya. Aku bingung ketakutan melihat orangtuaku yang tak seakur dulu. Aku selalu berdoa agar keluargaku kembali seperti dulu. Kemudian aku pergi ke rumah temanku, di jalan ku lihat ayah dengan wanita lain sedang bercanda. aku berlari untuk kembali ke rumah dan aku menangis. “Kenapa dya” ibu bertanya. Aku hanya diam dan mengusap airmataku, aku tak mau menceritakan kepada ibu karena aku kasihan, aku tidak mau melihat ibu sedih.
Setiap kali ayah pulang ayah memasang wajah seperti orang yang mau marah, ibu berusaha perhatian dan menyapa ayah, tapi ayah malah cuek tak memperdulikan ibu. Ibu masih berusaha agar ayah tidak menggugat cerai. Entah kenapa ibu seperti itu, memperjuangkan ayah yang tidak meresponnya. Hingga aku jengkel sama ayah.
Walau begitu ibu masih terus menjalankan tugas sebagai seorang istri yang mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, padahal di sisi lain ibu juga bekerja di luar rumah. Ibu tak pernah memperlihatkan rasa capeknya. Ibuku juga tidak pernah meninggalkan kewajibannya untuk beribadah.
Ketika aku ada masalah orang yang membantu untuk menyelesaikan adalah ibu, saat aku sakit orang pertama yang gelisah dan merawatku tanpa pamrih adalah ibu. Dan ayah menengokku dan memeriksakanku ke bidan terdekat bersama ibuku. Disitulah ayah sudah terlihat baik dengan ibu dan rukun kembali. Aku senang melihat kedua orangtuaku bersama tanpa ada masalah lagi. Dan kami hidup bahagia lagi.
Tapi belum ada satu tahun ibu dan ayah baikan, lagi-lagi masalah itu muncul, ayah kembali selingkuh dengan wanita lain hingga ayah benar-benar menceraikan ibu yang tak menginginkan perceraian itu terjadi. Aku melarang ayah agar ayah dan ibu tidak berpisah, tapi perkataanku percuma, ayah menganggap seperti angin. Karena mungkin ayah sudah terjerumus dengan wanita yang merebut ayah dari ibuku. Sehingga ayah sudah peduli padaku.
Peristiwa perceraian itu pun terjadi saat aku memasuki sekolah baruku yaitu tingkat SMA. karena aku sekolah jauh dari rumah jadi aku terpaksa kos yang seminggu sekali baru pulang.
Setiba di rumah, perasaanku tak enak, ternyata saat aku membuka pintu ayah berdua dengan wanita lain, aku mencari ibuku di semua ruangan, tapi ibu sudah pergi dari rumah tanpa membawa barang apapun. Aku tidak tahu kenapa wanita itu ada di rumahku bersama ayah padahal perceraian ayah dan ibu belum ada 2 bulan.
Aku berlari ke rumah nenek yang tidak jauh dari rumahku, “nek, apa yang sebenarnya terjadi?” Aku bertanya. “Ayahmu sudah menikah lagi kemarin, perkataan nenek sudah tidak dipedulikan, ayahmu hanya nurut dengan istri barunya, kamu yang sabar, ikhlas menerima kenyataan” (sambil menangis).
Aku langsung menjatuhkan makanan yang mau ku makan. Aku bergegas ke rumah mengambil handpone.
Tut.. tut.. tut.. tut.. tut.. “Halo sayang?” Ibu menjawab. “Ibu kenapa ibu meninggalkanku? Aku butuh ibu untuk berada di sampingku, maafkan aku ibu yang dulu aku sering marah-marah dan membentak ibu, ibuuu” (sambil menangis). Dan kelihatan jawaban dari suara ibu seperti orang yang menahan tangisan, “tidak apa-apa, ayahmu yang menginginkan itu, ibu berusaha bertahan untuk tidak berpisah tapi ayahmu yang memaksakan, sebenarnya ibu tahu ayahmu selingkuh sejak kamu kelas 5 SD, tapi ibu menutupi semua itu”. Begitu kuatnya ibu menghadapi cobaan yang sekian lama baru aku ketahui sekarang ini, aku tak bisa berbicara apapun yang aku lakukan hanyalah menangis, “alasan ibu bertahan adalah karena adanya kamu dya, kamu alasan ibu yang mampu menguatkan ibu hingga sekarang ini, maafkan ibu yang belum bisa menjadi ibu terbaik sayang, ibu tidak bisa mempertahankan rumah tangga dengan ayahmu sehingga kamu menjadi korbannya, kamu hati-hati ya nak, sekolah yang pinter” Ibu berkata. “Ibu, ibu tidak salah, ibu adalah ibu terbaik yang menyayangi dengan tulus bahkan ibu tidak pernah merasa bosan untuk merawatku” aku terus menangis.
Ayah melarangku bertemu dengan ibu, seakan-akan dia tidak mengerti perasaanku yang hancur saat itu.
Ayah tertawa berdua dengan istri barunya tanpa memikirkan perasaanku. Aku merenungkan semua yang terjadi padaku, aku menyesal dulu selalu bersikap tidak sopan terhadap ibuku padahal ibu sangat berarti bagiku, aku menyesal saat dia sudah tidak ada di sampingku lagi.
Hari demi hari aku jalani dengan penuh kesabaran, aku mencoba kuat namun aku tidak bisa saat aku mengingat wajah ibuku aku selalu menangis. Padahal seharusnya ibulah orang yang paling tersakiti tapi dia kuat, aku yakin ibu sangat merindukanku dan dia selalu menyebut namaku di dalam doanya.
Aku baru sadar bahwa aku mempunyai ibu yang sangat tulus, aku sangat merindukan sosok ibu kandung yang membesarkanku hingga saat ini dengan kesabaran dan ketulusannya, semua tinggal kenangan.
Cerpen Karangan: Ulfi Rohma
Ketika aku mulai mengenal pergaulan dan mulai menginginkan sesuatu yang harus aku dapatkan, aku sering merasa kesal dengan ibuku tanpa sebab, aku selalu membantah ketika ibu menasehatiku, aku selalu marah-marah dengannya, apalagi jika aku minta sesuatu kepada ibu tapi ibu menundanya, aku sangat marah sampai-sampai aku mengobrak abrik barang-barang di sekitarku di depan ibu.
Tapi ibu tidak memarahiku dia hanya berkata “sabar nak, besok pasti ibu kasih” sambil merapikan.
Aku semakin jengkel kepada ibu. Lalu ayahku datang “dya kenapa kamu nak?” Tanya ayah kepadaku. “Hehe tidak apa-apa yah” sambil masuk kamar. Entah kenapa dengan ayahku aku merasa takut beda dengan ibuku.
Saat aku bangun dari tempat tidur aku langsung mandi untuk siap-siap ke sekolah. Sebelumnya ku lihat meja makan yang sudah ada makanan yang dimasak ibuku untuk sarapan pagi bersama ayah. Ibuku jarang ikut sarapan dengan kami, ibu hanya menyiapkan sarapan, “nanti ingin ibu masakin apa?” Hampir setiap pagi setelah sarapan ibu bertanya seperti itu kepadaku. “Terserah yang penting enak” (meringis). Kemudian ibu bergegas ke pasar untuk membeli bahan untuk makan siang dan malam nanti.
Jarang kutemui ibuku saat aku berangkat ke sekolah. Tapi ibu selalu berpesan kepadaku dan ayah sebelum aku berangkat ke sekolah dan ayah berangkat kerja supaya aku dan ayah hati-hati.
Aku hanya berpamitan dengan ayah yang juga mau berangkat bekerja.
Sepulang sekolah “assalamualaikum, assalamualaikum” aku masuk rumah, melihat ibuku yang tertidur di depan tv setelah memasak untukku dan menunggu pulangku hingga ketiduran. Ku lihat wajah ibuku yang berkeringat mungkin karena kelelahan setiap hari melakukan pekerjaan rumah sendiri.
“Oh, dya sudah pulang?” ibu tiba-tiba bangun. Aku kaget “iyaa bu” (berjalan ke kamar).
Ibu menyuruhku agar aku segera makan. Tetepi aku tertidur hingga akhirnya aku lupa makan siang. Saat ibuku membangunkanku aku malah marah-marah kepadanya. Malam harinya aku baru makan bersama ayah dan juga ibu. Aku melihat lauk makanan ibu yang dipakai hanya sedikit, tapi laukku sangat banyak padahal aku tak pernah membantu ibu memasak. Disuruh menyapu saja aku menolaknya.
Pada hari minggu yang biasa dilakukan oleh sebagian orang selama hari libur itu membersihkan rumahnya. Saat itu aku tertidur pulas sampai aku bangun siang, aku tak melakukan apapun, ketika aku keluar dari kamarku aku melihat ibu sedang membersihkan kaca dan atap rumah, lalu menyapu, mengepel lantai. “Dya, bantu ibu cepat sini jangan tidur terus” kata ibu. Aku menolak perintah ibu lalu aku berlari ke rumah nenekku yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari rumah.
Saat aku pulang aku melihat ayah dan ibuku berdua sedang bercanda di depan tv, aku tidak ingin mengganggunya. Memang aku sebel dengan ibu padahal sebenarnya ibu tidak salah, namun aku juga bahagia melihat ibu dengan ayah bahagia berdua. Aku berharap aku akan selalu besama mereka selamanya.
Tapi ternyata aku salah kebahagiaanku kini mulai berkurang saat ayah berubah menjadi orang yang tak perduli pada keluarganya. Entah kenapa ayah seperti itu, biasanya ayah tak pernah kasar denganku dan ibuku tapi sekarang selalu marah-marah dengan raut wajah yang sensitif. Ayah yang dulu baik kini sering memarahi ibuku. “Yah belikan handpone baru ya” aku memohon ke ayah, “hp sudah 2 masih kurang, kamu pikir cari uang gampang? minta ibumu sana” sambil emosi dan langsung pergi.
Aku tak kuasa menahan ucapan ayah padaku sehingga aku pun menangis. “Insya allah ibu akan belikan” ibu menghiburku. Ayah yang sekarang sering pulang malam dia juga tidak pernah makan masakan ibu, padahal ibu susah payah masak sendiri.
Ternyata handpone yang aku minta ke ayah, ibu belikan untuku padahal uang yang dipakai adalah uang pinjaman. Ibuku rela melakukannya hanya demi aku “makasih ibu” sambil tersenyum. Setelah ibu pergi aku berfikir sejenak, “betapa tulusnya ibu denganku, tapi aku tidak pernah membantunya”.
Tanpa ku sadari tiba-tiba ayah ingin menggugat cerai ibuku. Suatu hal yang tidak pernah ada dalam fikiranku itu terjadi dalam keluargaku yang dulunya tentram, kini mulai muncul masalah, setiap kali aku melihat ibu dan ayah bertengkar, ayah yang bembentak-bentak ibuku hingga ibuku tak kuasa menahan airmatanya. Aku bingung ketakutan melihat orangtuaku yang tak seakur dulu. Aku selalu berdoa agar keluargaku kembali seperti dulu. Kemudian aku pergi ke rumah temanku, di jalan ku lihat ayah dengan wanita lain sedang bercanda. aku berlari untuk kembali ke rumah dan aku menangis. “Kenapa dya” ibu bertanya. Aku hanya diam dan mengusap airmataku, aku tak mau menceritakan kepada ibu karena aku kasihan, aku tidak mau melihat ibu sedih.
Setiap kali ayah pulang ayah memasang wajah seperti orang yang mau marah, ibu berusaha perhatian dan menyapa ayah, tapi ayah malah cuek tak memperdulikan ibu. Ibu masih berusaha agar ayah tidak menggugat cerai. Entah kenapa ibu seperti itu, memperjuangkan ayah yang tidak meresponnya. Hingga aku jengkel sama ayah.
Walau begitu ibu masih terus menjalankan tugas sebagai seorang istri yang mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, padahal di sisi lain ibu juga bekerja di luar rumah. Ibu tak pernah memperlihatkan rasa capeknya. Ibuku juga tidak pernah meninggalkan kewajibannya untuk beribadah.
Ketika aku ada masalah orang yang membantu untuk menyelesaikan adalah ibu, saat aku sakit orang pertama yang gelisah dan merawatku tanpa pamrih adalah ibu. Dan ayah menengokku dan memeriksakanku ke bidan terdekat bersama ibuku. Disitulah ayah sudah terlihat baik dengan ibu dan rukun kembali. Aku senang melihat kedua orangtuaku bersama tanpa ada masalah lagi. Dan kami hidup bahagia lagi.
Tapi belum ada satu tahun ibu dan ayah baikan, lagi-lagi masalah itu muncul, ayah kembali selingkuh dengan wanita lain hingga ayah benar-benar menceraikan ibu yang tak menginginkan perceraian itu terjadi. Aku melarang ayah agar ayah dan ibu tidak berpisah, tapi perkataanku percuma, ayah menganggap seperti angin. Karena mungkin ayah sudah terjerumus dengan wanita yang merebut ayah dari ibuku. Sehingga ayah sudah peduli padaku.
Peristiwa perceraian itu pun terjadi saat aku memasuki sekolah baruku yaitu tingkat SMA. karena aku sekolah jauh dari rumah jadi aku terpaksa kos yang seminggu sekali baru pulang.
Setiba di rumah, perasaanku tak enak, ternyata saat aku membuka pintu ayah berdua dengan wanita lain, aku mencari ibuku di semua ruangan, tapi ibu sudah pergi dari rumah tanpa membawa barang apapun. Aku tidak tahu kenapa wanita itu ada di rumahku bersama ayah padahal perceraian ayah dan ibu belum ada 2 bulan.
Aku berlari ke rumah nenek yang tidak jauh dari rumahku, “nek, apa yang sebenarnya terjadi?” Aku bertanya. “Ayahmu sudah menikah lagi kemarin, perkataan nenek sudah tidak dipedulikan, ayahmu hanya nurut dengan istri barunya, kamu yang sabar, ikhlas menerima kenyataan” (sambil menangis).
Aku langsung menjatuhkan makanan yang mau ku makan. Aku bergegas ke rumah mengambil handpone.
Tut.. tut.. tut.. tut.. tut.. “Halo sayang?” Ibu menjawab. “Ibu kenapa ibu meninggalkanku? Aku butuh ibu untuk berada di sampingku, maafkan aku ibu yang dulu aku sering marah-marah dan membentak ibu, ibuuu” (sambil menangis). Dan kelihatan jawaban dari suara ibu seperti orang yang menahan tangisan, “tidak apa-apa, ayahmu yang menginginkan itu, ibu berusaha bertahan untuk tidak berpisah tapi ayahmu yang memaksakan, sebenarnya ibu tahu ayahmu selingkuh sejak kamu kelas 5 SD, tapi ibu menutupi semua itu”. Begitu kuatnya ibu menghadapi cobaan yang sekian lama baru aku ketahui sekarang ini, aku tak bisa berbicara apapun yang aku lakukan hanyalah menangis, “alasan ibu bertahan adalah karena adanya kamu dya, kamu alasan ibu yang mampu menguatkan ibu hingga sekarang ini, maafkan ibu yang belum bisa menjadi ibu terbaik sayang, ibu tidak bisa mempertahankan rumah tangga dengan ayahmu sehingga kamu menjadi korbannya, kamu hati-hati ya nak, sekolah yang pinter” Ibu berkata. “Ibu, ibu tidak salah, ibu adalah ibu terbaik yang menyayangi dengan tulus bahkan ibu tidak pernah merasa bosan untuk merawatku” aku terus menangis.
Ayah melarangku bertemu dengan ibu, seakan-akan dia tidak mengerti perasaanku yang hancur saat itu.
Ayah tertawa berdua dengan istri barunya tanpa memikirkan perasaanku. Aku merenungkan semua yang terjadi padaku, aku menyesal dulu selalu bersikap tidak sopan terhadap ibuku padahal ibu sangat berarti bagiku, aku menyesal saat dia sudah tidak ada di sampingku lagi.
Hari demi hari aku jalani dengan penuh kesabaran, aku mencoba kuat namun aku tidak bisa saat aku mengingat wajah ibuku aku selalu menangis. Padahal seharusnya ibulah orang yang paling tersakiti tapi dia kuat, aku yakin ibu sangat merindukanku dan dia selalu menyebut namaku di dalam doanya.
Aku baru sadar bahwa aku mempunyai ibu yang sangat tulus, aku sangat merindukan sosok ibu kandung yang membesarkanku hingga saat ini dengan kesabaran dan ketulusannya, semua tinggal kenangan.
Cerpen Karangan: Ulfi Rohma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar